Dec 27, 2012

Pengaruh Konformitas dalam Tawuran Pelajar

Ini adalah essai argumentatif untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Psikologi Sosial. Tema yang diangkat adalah mengenai perilaku konformitas siswa remaja.

Masa remaja adalah masa adolescene dimana seorang individu lebih dekat dengan teman-teman sekolahnya dibanding keluarga. Aktivitas remaja biasanya akan mendapatkan pengaruh sosial lebih banyak oleh teman-teman sekolah dibanding keluarga dan masyarakat. Siswa remaja lebih banyak melakukan suatu tingkah laku hanya karena ingin mengikuti atau menyamakan tingkah laku dengan teman-temannya (konformitas). Hal ini bisa menjadi kunci utama bahwa pengaruh sosial dari lingkungan luar keluarga merupakan faktor utama pembentuk tingkah laku siswa remaja. Salah satu bentuk tingkah laku siswa remaja yang kerap kali dipengaruhi oleh pengaruh sosial konformitas adalah tawuran antar pelajar.
Gerard, Wilhelmy, & Connoley (2006) berpendapat bahwa jumlah mayoritas dalam kelompok akan meningkatkan konformitas yang terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Brown, Clasen, & Eicher (1986) bahwa remaja lebih banyak menerima tekanan yang mendesak untuk melakukan konformitas daripada memilih melakukan kesalahan karena perilaku pribadi. Pendapat kedua ahli ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Rambe (1997, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Hasil penelitian Rambe (1997, dalam Sarwono & Meinarno, 2009) menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bentuk konformitas dengan tingkat harga diri yang dimiliki individu. Konformitas yang dimaksud merupakan  penyesuaian menerima tekanan atau dorongan dari anggota kelompok sesuai dengan tingkat harga diri, rendah atau tinggi. Selain itu,  Baron, Branscombe, & Byrne (2008, dalam Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat bahwa konformitas tidak menyebabkan suatu perilaku karena adanya keinginan individu untuk mempertahankan kontrol terhadap hidupnya.
Menurut saya, pengaruh konformitas yang tinggi dapat menyebabkan semakin tingginya keikutsertaan untuk melakukan hal yang sama dengan kelompok. Hal ini dikarenakan pengaruh kohesivitas kelompok, besar kelompok, dan norma sosial yang ada. Walaupun Baron, Branscombe, & Byrne mengatakan bahwa konformitas tidak terjadi karena keinginan individu untuk mempertahankan kontrol terhadap hidupnya, akan tetapi mereka tidak menyangkal bahwa semakin besar kelompok maka akan semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara tertentu sehingga semakin banyak yang mau mengikutinya. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh sosial konformitas turut berperan dalam suatu perilaku individu. Balitbang Depdiknas (1996, Siregar, 2003) mengatakan bahwa interaksi dan komunkasi dengan teman yang cukup erat akan banyak menghasilkan persamaan yang mempengaruhi pembentukan perilaku remaja. Dalam hal ini perilaku remaja turut dapat dipengaruhi oleh tingkat konformitas yang tinggi.
Tawuran pelajar adalah modus baru kejahatan di kota-kota besar. Mereka bergerombol atau berkumpul di tempat-tempat keramaian (halte, mall-mall, jalan-jalan protocol) siap mencari lawannya, tetapi tak jarang sasaran mereka justru pelajar sekolah yang tidak pernah ada masalah dengan sekolahan mereka. Dengan berpura-pura menanyakan nama seseorang yang mereka cari, dengan beraninya merampas atau meminta uang dengan paksa kepada pelajar yang mereka temui. Dengan berbekal senjata tajam, gier, rantai, alat pemukul mereka siap mencari sasaraan dan melakukan tindak kekerasan. Para pelajar ini menurunkan kebiasan buruknya kepada adik-adik kelasnya, sementara mereka sudah naik satu jenjang menjadi senior. Dengan berbekal pengalaman tawuran ini, jadilah senior kelas yang memiliki bibit-bibit kekerasan. Salah satu tawuran pelajar yang terjadi akhir-akhir ini yaitu perkelahian antara SMA 6 dan SMA 78 Jakarta (Koran Kompas).
Soekadji (1992, dalam Sarwono & Meinarno, 2009) mengujarkan hasil penelitian bahwa perkelahian pelajar merupakan tawuran pelajar yang terjadi karena para pelajar mewarisi budaya atau tradisi yang diwariskan oleh kakak-kakak kelas mereka. Rambe (1997, Sarlito & Meinarno, 2009) mengatakan bahwa perkelahian pelajar menjadi salah satu bentuk implementasi solidaritas tinggi diantara teman sekolah. Solidaritas tinggi tersebut membuat siswa merasa memiliki keharusan untuk melakukan konformitas dengan cara melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan temannya. Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan normal sosial yang ada (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008). Dalam hal ini, konformitas yang dilakukan siswa adalah tawuran.
Pada umumnya alasan melakukan konformitas karena orang tidak selalu membuat keputusan yang terpisah, melainkan mereka melihat ke orang lain untuk membimbing pikiran dan tindakan (Hornsey, Majkut, Terry, & McKimmie, 2003). Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh tekanan yang datang dari sesama teman sekolah. Ketika teman mengalami suatu permasalahan, siswa akan menginginkan dia dianggap sebagai teman yang baik dan setia (pencitraan). Namun di satu sisi, dia tidak ingin melakukan tawuran pelajar karena mengetahui dampak yang bisa muncul akibat terlibat dalam tawuran pelajar. Pada kondisi yang autokinectic phenomenon ini, norma sosial berkembang dalam kondisi yang ambigu (Sarwono & Meinarno, 2009). Siswa mencoba memenuhi kebutuhannya untuk melakukan suatu hal yang bisa dikatakan benar oleh lingkungan sosialnya. Namun, karena sedang berada dalam kondisi yang ambigu, dia mencoba mencari kebenaran dengan memutuskan pilihan untuk mengikuti apa yang diharapkan kelompok teman sekolahnya. Dalam hal ini, yang dilakukan oleh teman-temannya adalah tawuran.
            Ada bukti yang berkembang bahwa ketika orang merasa suatu keharusan moral untuk berperilaku dengan cara tertentu, ada hubungan kuat antara sikap dan perilaku mereka (Manstead, 2000, dalam Hornsey, Majkut, Terry, & McKimmie, 2003). Bukti ini bisa menjelaskan bagaimana disonasi kognitif yang terjadi pada siswa ketika harus memilih mengikuti atau tidak tawuran pelajar yang dilakukan oleh teman-teman sekolahnya. Walaupun siswa berusaha untuk tidak ikut terlibat dalam perilaku tawuran, akan tetapi adanya dorongan dan tekanan dapat menyebabkan siswa melakukan tawuran bersama teman-temannya.
            Dalam percobaan Hornsey, Majkut, Terry, & McKimmie (2003), ditemukan bahwa partisipan yang memiliki dasar moral yang lemah untuk sikap, maka mereka sesuai dengan norma kelompok pada perilaku pribadi. Sebaliknya, mereka yang memiliki dasar moral yang kuat bagi sikap, mereka menunjukkan ketidaksesuaian pada perilaku pribadi dan kontra-sesuai pada perilaku masyarakat. Insiden ketidaksesuaian dan kontra-sesuai dibahas dengan mengacu pada teori dan penelitian tentang pengaruh normatif. Hal ini menunjukan bahwa siswa yang memiliki dasar moral sikap yang lemah, maka akan lebih mudah terpengaruh pada perilaku sosial yang dilakukan teman-temannya. Alhasil, dia akan lebih mengikuti apa saja yang dilakukan temannya. Namun, apabila dia memiliki dasar moral sikap yang kuat, maka dia akan menyeleksi terlebih dahulu tingkah laku apa yang sesuai untuk dilakukan.
Tawuran pelajar ini tidak sesuai normal sosial yang ada. Tawuran pelajar merupakan tingkah laku yang tidak sesuai karena mengganggu kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian. Selain itu, tawuran pelajar juga menjadi aktivitas yang menggangu proses belajar para siswa di sekolah. Dapat dikatakan bahwa tawuran pelajar merugikan pihak pelajar sendiri dan masyarakat yang ada. Padahal yang dimaksud sesuai dengan norma sosial adalah kesesuaian antara tingkah laku dan aturan-aturan yang ada dalam lingkungan sosial (Sarwono & Meinarno, 2009). Hal ini tentu tidak sesuai dengan norma sosial, terutama injunctive norms dan descriptive norms.
Bentuk ketidaksesuaian tawuran pelajar dengan injunctive norms adalah tidak menjaga kenyamanan, keamanan dan kedamaian di lingkungan masyarakat. Hal ini tertulis secara eksplisit dalam peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat (Sarwono & Meinarno, 2009). Mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kedamaian dapat menimbulkan banyak protes dari berbagai pihak. Hal ini tentu bisa menimbulkan permasalahan baru yang dapat meresahkan banyak pihak. Maka dari itu, tawuran pelajar menjadi suatu hal yang harus dicegah karena tidak sesuai dengan injunctive norms yang ada.
Selain tidak sesuai dengan injunctive norms, tawuran pelajar juga tidak sesuai dengan descriptive norms. Descriptive norms merupakan norma sosial yang bersifat implisit dan tidak dinyatakan secara tertulis dan tegas (Sarwono & Meinarno, 2009). Descriptive  norms yang dimaksud adalah nilai kesopanan dalam bertingkah laku dimasyarakat. Tawuran pelajar banyak melibatkan perilaku-perilaku yang saling tidak menghargai dan toleransi. Padahal nilai dalam masyarakat mengungkapkan bahwa harus saling menghargai dan toleransi. Masih ada perdebatan tentang mengapa descriptive norms dapat mempengaruhi sikap dan perilaku. Di satu sisi, siswa mungkin tidak pasti apa yang harus pikirkan dan lakukan dalam suatu situasi. Dalam keadaan ini, siswa mungkin bergantung pada orang lain untuk menentukan apa yang benar, terutama jika kelompok referensi dipandang termotivasi dan kompeten. Bentuk pengaruh disebut sebagai informational influence bukan rational process. Hal ini adalah cara fungsional mendefinisikan posisi dalam menghadapi informasi yang terbatas (Hornsey, Majkut, Terry, & McKimmie, 2003),. Pengaruh informational influence  ini diinternalisasi oleh siswa sehingga menyebabkan perubahan pada tingkah laku.
Myre (1998, dalam Sarlito & Meinarno, 2009) mengatakan bahwa faktor penyebab tingkah laku konformitas pada pelajar pelaku tawuran pelajar ada dua hal, yaitu acceptance dan compliance. Faktor acceptance terjadi karena konformitas kelompok menyediakan informasi yang tidak dimiliki pelajar, sehingga pelajar memiliki keyakinan dan bertingkah laku sesuai dengan tekanan teman-temannya. Namun, pada compliance, pelajar mencoba bertingkahlaku seperti tekanan kelompok namun sebenarnya secara pribadi dia tidak menyetujui tingkah laku tersebut.
            Konformitas pada hubungan sosial dengan teman-teman harus dapat dikendalikan dengan baik oleh masing-masing individu. Pengaruh konformitas yang tinggi turut meningkatkan perilaku tawuran pelajar. Hal ini menunjukan bahwa konformitas tidak selamanya memberikan hal positif pada hubungan pertemanan, melainkan juga hal negatif. Oleh karena itu, pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat sebaiknya bekerjasama untuk memperhatikan, mensosialisasikan, dan menanamkan nilai dan norma sosial yang sebenarnya pada para pelajar agar mereka tidak melakukan tawuran pelajar.



Daftar Pustaka

Baron, R. A., Byrne, D., & Branscombe, N. R. (2008). Social Psychology. Edisi 12.
Boston: Pearson.
Brown, B. B., Clasen, D. R., & Eicher, S. A. (1986). Perceptions of peer pressure, peer
conformity dispositions, and self-reported behavior among adolescents.
Developmental Psychology. 22(4), 521-530. doi : http://dx.doi.org/10.1037/0012-1649.22.4.521
Gerard, H. B., Wilhelmy, R. A., & Connoley, E. S. (2006). Conformity and group size.
Journal of Personality and Social Psychology. 8(1), 79-82. Abstrak diunduh dari
Hornsey, M. J., Majkut, L., Terry, D. J., & McKimmie, B. M. (2003). On being loud and
proud: Non-conformity and counter-conformity to group norms. The British Journal
of Social Psychology, 42, 319-35. Diunduh dari http://search.proquest.com/docview/219172185?accountid=17242
Kistyarini. (2012). Tawuran pelajar di pancoran, 3 siswa diamankan. Diunduh dari
ran.Tiga.Siswa.Diamankan
Sarwono, S. W., Meinarno, E. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Siregar, M. B. (2003). Penanggulangan masalah tawuran pelajar sebagai tingkah laku
Penanggulangan%20masalah-TOC.pdf

No comments:

Diam atau Bergerak

Waktu terus berlalu tapi engkau masih disana Hari terus berlalu tapi engkau masih di singgasana Lepaskan singgasana karena engkau perlu ta...