14 Mei 2013 lalu saya dan kelima anggota
kelompok saya melakukan pengambilan data untuk tugas akhir mata kuliah
Metodologi Penelitian dan Statistik III di salah satu SD Swasta di wilayah
Pejaten Timur. Karena tempat tidak terlalu jauh, saya bersama ketiga teman
saya memutuskan untuk naik angkutan umum kesana. Sedangkan dua teman saya lagi
mengendarai motor sembari membawa perlengkapan field study yang seabrek.
Saya dan ketiga teman saya pertama-tama
naik angkutan kota 04 dari Jalan Raya Margonda untuk sampe ke Terminal Pasar
Minggu. Kebetulan kami mendapatkan angkutan kota yang kosong, sampe wilayah
Lenteng Agung angkutan kota hanya berisi kami 4 orang dan satu pria yang duduk
dikursi sebelah sopir. Sejauh itu, keadaan dalam angkutan kota masih aman dan nyaman.
Sampe akhirnya di depan Stasiun Tanjung
Barat mulai banyak orang menaiki angkot itu. Hingga hanya tinggal satu tempat
duduk kosong sebelah teman saya. Beberapa menit kemudian diisi oleh seorang
anak kecil berusia sekitar 10-13 tahun. Anak kecil ini menggunakan baju
dan celana yang dekil. Sangat terlihat kakinya penuh kurap dan kotor karena
anak ini menggunakan celana pendek selutut. Anak ini juga menggunakan sandal
jepit yang telah kotor dan ukurannya jauh lebih besar dari ukuran
kakinya.
Saya sendiri langsung merasa tidak nyaman
atas kehadiran anak ini. Awalnya saya dan teman saya mengira anak ini akan
bernyanyi untuk mendapatkan uang a.k.a mengamen. Namun ternyata tidak, anak ini
hanya duduk diam didalam angkutan kota itu.
Satu per satu penumpang mulai turun.
Kebutulan saya dan Ririe duduk berdampingan di bagian kursi panjang bermuatan 6
orang. Saya duduk tepat dibelakang sopir, sedangkan Ririe berada disebelah kiri
saya. Disebelah kiri Ririe duduklah ada anak kecil tersebut. Saya mencoba mengamati
anak itu.
TERNYATA... Yang saya lihat, anak itu
berusaha duduk mendekati Ririe. Padahal kursi cukup lapang dan kosong untuk
duduk agak berjauhan. Sampe saya melihat tangan kanan anak itu mencoba meraih
sesuatu dari saku celana atau tas Ririe. Kemudian mendadak saya kaget ketika
Ririe mengatakan,
"tangannya bisa diam ngga!" (menatap kesal kepada anak kecil tersebut)
Saya tersenyum kepada ririe. Langsung saya
duduk bergeser agak menjauh agar Ririe juga bisa menjauh duduk dari anak itu.
Kemudian Ririe berkata sesuatu kepada saya,
"Udah dari tadi dia gitu sih" (ekspresi nyolot)
Kemudian didepan pintu ada penumpang yang
turun dari angkutan kota. Ririe langsung pindah tempat duduk menjauh sembari
menatap tajam anak kecil itu. Ririe juga langsung menggenggam dan memeluk tas
nya. Anti dan Debbi yang dari perjalanan awal tertidur langsung terbangun dan
menatap aneh dengan kelakuan Ririe.
Saya tersenyum. Jadilah, saya, anak kecil,
dan seorang ibu duduk dibangku yang cukup kosong untuk muatan 6 orang. Anak
kecil itu duduk tepat disebelah saya. Saya tersenyum meringai sembari
menampakan ekspresi disgust.
Anak itu menaikan kaki kanannya keatas
kursi sembari tangannya menggaruk telapak kaki dan luka kakinya. Kemudian
karena saya membuang muka sembari makin menampakkan emosi disgust BANGET, anak itu langsung duduk menjauh paling pojok
setelah seorang ibu turun dari angkutan kota itu. Jadilah saya hanya berdua bersama
anak kecil tersebut dibangku bermuatan 6 orang, dan duduk dipojok
masing-masing.
"Ihh.. Yaampun, ini anak merusak
pemandangan banget. Wajar aja Ririe kesal dan nyolot. Cengengeasan lagi ke gw
sama Ririe. Hueee.. segera dong sampe di terminal pasar minggu!" (gumam saya dalam hati)
Kemudian ketika tiba di terminal pasar
minggu, kami langsung mencari angkutan kota 36.
Akan tetapi,
Sebelum turun saya memperhatikan dengan
tajam anak itu terlebih dahulu. Dia tidak membayar ongkos sama sekali. Dia
terlihat bingung dan mengamati apa yang saya dan teman-teman saya lakukan.
Ririe langsung turun lebih dahulu kemudian saya dan baru giliran dua teman saya
yang lain.
Karena saya mulai merasa makin tidak
nyaman, saya langsung berkata,
"Bang, 4 orang ya" (Sembari langsung menaruh uang ongkos dibangku penumpang
depan dan mengabaikan sopir yang sedang sibuk mengembalikan uang kembalian
bapak-bapak yang juga turun bersamaan dengan kami)
Saya langsung menarik tangan Ririe dan
mengajak menjauh dari angkutan itu. Kemudian Anti dan Debbi buru-buru menyusul
saya dan Ririe. Saya sudah merasa aman karena kami berjalan sengaja memutari
terminal untuk menjauhkan diri dari anak itu.
"Ih!" (saya kaget ketika menoleh ke belakang dan melihat anak itu
mengikuti saya)
“tadi
anak itu ngga sopan banget! Dia nyenggol bagian belakang aku” (debbi berbisik)
“Maksudnya
mau ngambil sesuatu?” (Anti
bertanya)
Kami terdiam.
Saya langsung mengomel dan menggerutu. Ini
anak tidak sopan. Membuntuti saya dan teman-teman kemudian melempar
senyum-senyum yang tidak sopan.
Ketika kami bertiga berjalan sejajar,
Ririe berlari kesal dan paling depan sendirian. Kemudian anak itu mengejar
Ririe yang sendirian sambil senyum-senyum. Kami berusaha berlari menjauh, EH
dia malah berlari makin mendekati kami. Kami berusaha berjalan lebih pelan dari
dia, dia malah berjalan jauh lebih pelan dari kami. Kami melewati selasar
terminal, dia mengikuti. Kami berjalan mengarah kolam, dia juga mendekati. Kami
berhenti, EH dia juga berhenti.
Yang jelas, dia berada tepat dibelakang
kami dan jaraknya tidak kurang dari 300 meter. BAYANGKAN.
Errrgghh, saya sudah pengen meluapkan
emosi. Akhirnya saya berkata,
“Kamu
ngapain sih ngikutin kami! Ngga sopan banget!” (saya menghardik dia. EH DIA TERSENYUM)
Akhirnya, kami masing-masing memegang tas
kemudian memasukan handphone ke tempat yang aman kemudian berlari sekenceng
mungkin untuk menjauh. Tapi, mendadak Ririe berlari ke arah yang berbeda. Ririe
berlari ke pusat informasi yang tampak ada satpam. Kami heran, kemudian Ririe
berkata,
“Aku
laporin dia dulu” (Melengos
sembari berlari)
Oh, kami mengerti. Ririe mau melaporkan
anak itu ke Pusat Informasi Terminal Pasar Minggu. Kami langsung memutar arah
dan berlari mengikuti Ririe. Anak itu kembali senyum-senyum tapi berlari
menjauh dari kami. Kami makin mendekati arah satpam, kemudian anak itu berlari
sangat kenceng sampai tidak terlihat lagi.
Kemudian satpam keluar dan berkata,
“Yang
mana anaknya? Dia ngapain kalian?” (tanya satpam)
“Itu
Pak dia sudah lari, ngga tau kemana lagi. Takut kayaknya karena mau dilaporin” (timpal saya)
“haha..
emang dari mana dia mulai naik angkot tadi?”
“tanjung
barat. 04.” (bersamaan)
“Oh,
mungkin dia orang gila kali atau memang mau nyolong” (kata seorang ibu yang sepertinya barusan
saja habis melaporkan kehilangan barang)
“Yasudah
sekarang kan sudah ngga ada lagi. Emang kalian pada mau kemana?” (tanya satpam)
“ke
strada. Mau naik 36” (debbi
menjawab)
“Oh
yaudah, kalian tunggu disitu saja bentar lagi palingan lewat kok” (satpam menunjuk ke pojok tempat menunggu)
Kami tersenyum lega dan berterimakasih
kepada bapak dan ibu yang cukup menenangkan kami.
Diperjalanan kami sangat siaga jikalau
melihat anak kecil memasuki angkot yang sama dengan kami. Kami merasa bahwa ini
menjadi salah satu hal yang menimbulkan persepsi negatif terhadap anak-anak
jalanan. Ya, tapi mau gimana lagi. Karena kami memang mengalami hal yang tidak
mengenakan. Ada baiknya sih berpikir positif melihat situasi kondisi dahulu.
Tapi, kalau keadaan sudah begitu yaa mau gimana lagi- Ini adalah satu hal yang
paling bikin tambah malas dan was-was naik angkutan kota.
No comments:
Post a Comment