Hubungan
Antara Kasus “Hedonisme dan Kerapuhan Karakter Bangsa” dengan Agama Islam,
Budaya, dan Seni
Oleh Salsabila Mayang Sari,
1106001920
Judul : Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran
Tentang Islam dan
Umatnya
Pengarang : H. Endang Saifuddin Anshari
Data
Publikasi : Wawasan Islam: Pokok-pokok
Pikiran Tentang Islam dan
Umatnya, H. Endang Saifuddin Anshari, Jakarta,
Rajawali,
464 hlm.
Dalam kehidupan
sehari-hari, agama dan budaya saling berhubungan erat. Hubungan antara kedua
hal ini dapat menghasilkan kebudayaan agama. Kebudayaan agama merupakan
kebudayaan yang dilandasi agama. Dalam kasus “Hedonisme dan Kerapuhan Karakter
Bangsa”, agama islam berhubungan dengan dua hal, yaitu hedonisme dan seni. Seni
merupakan manifestasi dari budaya. Dalam kasus tersebut seni dimanifestasikan
dalam trend menggunakan barang-barang mewah dan gaya hidup ala budaya asing.
Hal ini malah akan menghasilkan sikap hedonisme yang tidak sesuai dengan ajaran
agama islam.
Dari kasus tersebut,
seni dijadikan sebagai ajang pamer yang menimbulkan sikap hedonisme. Hal ini
bisa dilihat dari renovasi toilet DPR, renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar),
dan rumah-rumah elite yang terdapat mobil mewah berbagai merek dari luar
negeri. Islam tidak mengajarkan manusia untuk hidup berlebihan melainkan
berkecukupan saja. Jika mereka menganggap semua hal itu sebagai manifestasi
budaya seni, maka hal itu bertolak belakang dengan ajaran islam. Berkreasi seni
memang merupakan jawaban positif terhadap panggilan yang lebih menghidupkan. Memang
kesenian pada dasarnya mubah, jaiz, boleh. Hal-hal lain yang di luar seni itu
sendiri yang dapat membawa perubahan terhadap penilaian hukum, misalnya dari
mubah ke makruh. Namun dalam Islam, seni akan bernilai ibadah jika: ikhlas
(sebagai titik tolaknya), mardhati ‘Ilah (sebagai titik tuju), dan amal shaleh
(sebagai garis amal). Jadi, budaya seni yang mereka lakukan malah hanya
menghasilkan sikap sombong dan peduli akan kesenangan saja bukan sebagai titik
tolak untuk beramal dan mencari ridho Allah.
Islam menyuruh umatnya
untuk bersilahturahmi, saling tukar pengetahuan (Qs.22:46). Namun, hal itu
tetap harus sesuai dengan hal yang positif berdasarkan islam yang dapat
menimbulkan budi-pekerti, sopan-santun, lemah-lembut, dan tidak menimbulkan
rangsangan syahwat. Menggunakan produk luar negeri seperti jeans, musik pop, transportasi, dan alat komunikasi memang
diperbolehkan (mubah). Namun, harus sesuai dengan batasan-batasan islam.
Menggunakan produk asing untuk meningkatkan kebutuhan hidup memang baik, namun
jangan melupakan kebudayaan daerah setempat. Hal ini dapat menghambat
kekreatifitas orang setempat karena mayoritas lebih suka menggunakan daripada
menghasilkan. Allah SWT menyuruh umat-Nya untuk mengemban ilmu agar dapat
mencukupi kebutuhannya sendiri melalui kekreatifitasnya sendiri.
Adapun nilai dan
faktor-faktor dalam Islam yang mendorong pemeluknya untuk menciptakan
Kebudayaan Islam, antaranya Islam menghormati akal manusia, menyuruh manusia
mempergunakan akal untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam (Qs.3:3:189-190).
Islam mewajibkan tiap-tiap pemeluknya untuk menuntut ilmu (Qs.58:11). Islam
melarang seseorang untuk bertaqlid buta, menerima sesuatu tanpa diperiksa
terlebih dahulu (Qs.17:36). Islam mengerahkan umatnya untuk menciptakan hal
baru. Islam menyuruh pemeluknya untuk mencari kerelaan Tuhan (Qs.28:77). Islam
menyuruh umatnya untuk bersilahturahmi, saling tukar pengetahuan (Qs.22:46).
Islam menyuruh memeriksa kebenaran walau datang dari kaum yang berbeda bangsa
dan kepercayaan (Qs.20:17-18).
Karya-karya seni bagi
kaum muslimin telah banyak diciptakan seperti bangunan masjid dengan arsitektur
yang indah, kaligrafi, MTQ, nasyid, seni rabana, dan sebagainya. Jadi, islam
tidak menentang manusia untuk menciptakan budaya akan tetapi memang harus sesuai
batasannya. Untuk mengatasi keterpurukan karakter bangsa, pemerintah harus
membiarkan kebebasan kreatifitas masyarakatnya untuk meningkatkan integritas
bangsa. Akan tetapi, hal tersebut harus ada peraturan yang teratur dan sesuai
dengan hukum negara dan agama agar sikap hedonisme tidak semakin merapuhkan
karakter bangsa.