Fenomena Pembacok Polisi Tewas
Dikeroyok
Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat
banyak fenomena-fenomena sosial yang
terjadi. Fenomena- fenomena sosial tersebut dapat menyebabkan
permasalahan-permasalahan sosial yang terkait dengan masalah-masalah sosiologis.
Dalam Detiknews, 22 April 2012, terdapat salah satu masalah sosial yang terjadi
yaitu, pembacok tiga polisi yang tewas karena dikeroyok warga. Hal ini
dikatakan permasalahan sosial karena terdapat suatu hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada yang mempengaruhi bagaimana sikap dan tingkah laku
masyarakat. Permasalahan sosial ini, terkait juga dengan masalah sosiologis
karena ada pengaruh sosial terhadap tingkah laku dan sikap masyarakat. Permasalahan
sosial ini dapat dikaji dalam tiga perpektif yaitu, sosiolologis, psikososial,
dan psikologis.
Dalam perspektif sosiologis,
masalah sosial dijabarkan dalam tiga hal yaitu, teori fungsional struktural,
teori konflik, dan teori interaksionisme simbolik. Dalam teori fungsional
struktural, terdapat dua konsep penting yaitu struktur sosial dan fungsi sosial
(Meinarno dkk, 2011). Struktur sosial
merupakan pola tingkah laku sosial yang relatif stabil. Dalam masalah sosial
diatas, struktur sosialnya adalah rasa senasib sepenanggungan. Struktur sosial
memiliki fungsi sosial sebagai konsekuensi sosial terhadap masyarakat
keseluruhan. Fungsi sosial dari struktur sosial tersebut menyebabkan masyarakat
merasa bahwa polisi yang mengatur ketertiban lingkungannya mendapat perilaku
yang tidak semestinya sehingga masyarakat marah dan melakukan keroyok massa
terhadap pembacok polisi. Keroyok massa ini juga disebabkan karena perilaku
pembacok polisi tersebut melakukan hal yang bersifat pathologis, tidak
berpedoman pada nilai-nilai sosial dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat
(Soetomo, 1995). Perilaku pembacok polisi tersebut juga merupakan perilaku
menyimpang dan disorganisasi sosial yang menyebabkan ketegangan dan ketidaksetaraan
sosial. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan cara resosialisai (mendiagnosa
masalah) atau dengan preventif rehabilitasi didalam penjara (Soerjono Soekanto,
1982).
Bertolak belakang dari teori
fungsional struktural, teori konflik fokus pada wewenang dan posisi yang
menguntungkan atau merugikan kelompok-kelompok tertentu (Soetomo, 1995).
Konflik terjadi apabila ada kepentingan yang tidak sejalan dari berbagai
kelompok. Dalam masalah diatas, pembacok polisi kemungkinan merasa tidak setuju
dengan negosiasi yang terjadi antara dia dan pihak polisi sehingga dia
melakukan pembacokan kepada tiga polisi tersebut. Pembacok tersebut berusaha
melindungi hak dan berusaha mengungkapkan emosi yang dia rasakan. Namun, hal
ini bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang menyebabkan adanya konflik
nilai. Konflik nilai ini menyebabkan perbedaan nilai dan kepentingan sosial
yang mengakibatkan perubahan yang bersifat radikal yaitu keroyok massa.
Keroyok massa ini mungkin
menguntungkan bagi sebagian masyarakat yang merasa bahwa perilaku itu pantas
dilakukan sebagai luapan emosi dan ganjaran bagi pembacok polisi. Namun, bagi
sebagian masyarakat lain, hal ini malah merugikan karena bisa memicu kerusakan pada
fasilitas-fasilitas umum dan pencemaran nama baik daerah tersebut. Konflik
memang memiliki fungsi negatif sebagai pemicu disintegrasi, akan tetapi juga
memiliki fungsi positif sebagai alat pemelihara solidaritas, menciptakan
aliansi dengan kelompok lain, dan mengaktifkan peran individu yang semula
terisolir (Soetomo, 1995). Walaupun terdapat fungsi negatif, akan tetapi
konflik sebaiknya dihindari dengan cara kompromi, asimilasi, atau akomodasi
agar tidak menimbulkan hal negatif lainnya.
Berbeda dari teori fungsional
struktural dan teori konflik, teori interaksionisme simbolik lebih membahas hal
yang bersifat mikro dan menekankan pada tiga premis. Blumer (Soetomo, 1995 :
48) menyatakan bahwa tiga premis tersebut yaitu, manusia bertindak berdasarkan
makna-makna yang ada, makna tersebut berasal dari interaksi sosial, dan
makna-makna tersebut disempurnakan dalam proses interaksi yang berlangsung.
Dari kasus pembacok polisi, masyarakat menilai bahwa hal tersebut bertentangan
dengan nilai dan norma karena tidak sesuai dengan makna nilai yang telah
didapat dari kehidupan berinteraksi sosial. Masyarakat memaknai bahwa hal
tersebut sebagai kejahatan dan kekerasaan yang tidak sesuai dengan nilai yang
dianut. Keroyok massa tersebut tidak melihat latar belakang masalah sosial melainkan
memberikan labelling pada pembacok
polisi tersebut bahwa dia melakukan tindakan kriminal berupa kekerasan kepada
polisi sehingga bagi sebagian masyarakat layak diselesaikan dengan cara
kekerasan.
Dalam perspektif psikososial,
yang dipandang adalah bagaimana pembacok polisi bertindak dalam kehidupan
masyarakat. Memunculkan kemungkinan apakah perilaku pembacok polisi tersebut
terkait dengan keterbelakangan mental atau tekanan dari keadaan sekitarnya yang
mengakibatkan dia berani melakukan perbuatan kriminal tersebut. Hal ini juga
bisa dilatarbelakangi bagaimana pembacok polisi tersebut diperlakukan sebagai
anggota dari masyarakat tersebut.
Permasalahan sosial tersebut
jika dibahas dari perspektif psikologi melibatkan tingkah laku manusia yang
dibentuk dan dikontrol dari stimulus lingkungan. Pembacok polisi melakukan hal
tersebut dimungkinkan karena aspek psikologisnya mempelajari bahwa jika dia
mendapat tekanan yang harus dilakukannya adalah menghilangkan hal yang menekan,
dalam kasus tersebut hal yang menekan adalah polisi. Skinner (1938, dalam King,
2011) berpendapat bahwa akan ada perilaku yang berubah apabila stimulus-respon
juga mengalami perubahan. Pembacok polisi kemungkinan merasa tertekan ketika
diintrogasi saat negosiasi dengan polisi sehingga menyebabkan ketertekanan.
Ketertekanan psikologisnya tersebut membuat dia berani untuk membacok polisi
yang mencoba menenangkannya.
Perspektif sosiologis,
psikososial, dan psikologis dapat membantu individu atau kelompok dalam
menyelesaikan permasalahannya sehari-hari temasuk masalah pembacokan polisi
tersebut. Masyarakat bisa melakukan kompromi atau akomodasi terlebih dahulu
terhadap pembacok polisi agar dapat mendiagnosa apa latar belakang pemicu
masalah sosial tersebut. Jika memang masalah tak terselesaikan, bisa
diselesaikan dengan bantuan pihak yang berwajib agar tidak ada pihak yang
dirugikan.
Daftar Pustaka
Abdurrahman,
M. N. “Pembacok 3 Polisi di Jeneponto Tewas Dikeroyok”.
http://news.detik.com/read/2012/04/17/175155/1894625/10/pembacok-3-polisi-di-jeneponto-tewas-dikeroyok?nd992203605. Diakses pada 22 april 2012.
King,
L. A. (2011). The science of psychology. New
York: McGraw-Hill.
Meinarno,
E. A., Widianto, B., Halida, R. (2011). Manusia dalam kebudayaan
dan masyarakat. Jakarta: Salemba
Humanika.
Soekanto,
S. (1982). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Radar Jaya Offset.
Soetomo,
Drs. (1995). Masalah sosial dan pembangunan. Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya.