Ini adalah essai argumentatif untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Psikologi Sosial. Tema yang diangkat adalah mengenai perilaku konformitas siswa remaja.
Masa
remaja adalah masa adolescene dimana
seorang individu lebih dekat dengan teman-teman sekolahnya dibanding keluarga.
Aktivitas remaja biasanya akan mendapatkan pengaruh sosial lebih banyak oleh
teman-teman sekolah dibanding keluarga dan masyarakat. Siswa remaja lebih
banyak melakukan suatu tingkah laku hanya karena ingin mengikuti atau
menyamakan tingkah laku dengan teman-temannya (konformitas). Hal ini bisa
menjadi kunci utama bahwa pengaruh sosial dari lingkungan luar keluarga
merupakan faktor utama pembentuk tingkah laku siswa remaja. Salah satu bentuk tingkah
laku siswa remaja yang kerap kali dipengaruhi oleh pengaruh sosial konformitas
adalah tawuran antar pelajar.
Gerard,
Wilhelmy, & Connoley (2006) berpendapat bahwa jumlah mayoritas dalam
kelompok akan meningkatkan konformitas yang terjadi. Hal ini sejalan dengan
pendapat Brown, Clasen, & Eicher (1986) bahwa remaja lebih banyak menerima
tekanan yang mendesak untuk melakukan konformitas daripada memilih melakukan
kesalahan karena perilaku pribadi. Pendapat kedua ahli ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan Rambe (1997, dalam Sarwono & Meinarno, 2009).
Hasil penelitian Rambe (1997, dalam Sarwono & Meinarno, 2009) menunjukan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bentuk konformitas dengan
tingkat harga diri yang dimiliki individu. Konformitas yang dimaksud
merupakan penyesuaian menerima tekanan
atau dorongan dari anggota kelompok sesuai dengan tingkat harga diri, rendah
atau tinggi. Selain itu, Baron,
Branscombe, & Byrne (2008, dalam Sarwono & Meinarno, 2009) berpendapat
bahwa konformitas tidak menyebabkan suatu perilaku karena adanya keinginan
individu untuk mempertahankan kontrol terhadap hidupnya.
Menurut
saya, pengaruh konformitas yang tinggi dapat menyebabkan semakin tingginya
keikutsertaan untuk melakukan hal yang sama dengan kelompok. Hal ini
dikarenakan pengaruh kohesivitas kelompok, besar kelompok, dan norma sosial yang
ada. Walaupun Baron, Branscombe, & Byrne mengatakan bahwa konformitas tidak
terjadi karena keinginan individu untuk mempertahankan kontrol terhadap
hidupnya, akan tetapi mereka tidak menyangkal bahwa semakin besar kelompok maka
akan semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara tertentu sehingga
semakin banyak yang mau mengikutinya. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh sosial
konformitas turut berperan dalam suatu perilaku individu. Balitbang Depdiknas
(1996, Siregar, 2003) mengatakan bahwa interaksi dan komunkasi dengan teman
yang cukup erat akan banyak menghasilkan persamaan yang mempengaruhi
pembentukan perilaku remaja. Dalam hal ini perilaku remaja turut dapat
dipengaruhi oleh tingkat konformitas yang tinggi.
Tawuran pelajar adalah modus baru kejahatan di kota-kota
besar. Mereka bergerombol atau berkumpul di tempat-tempat keramaian (halte,
mall-mall, jalan-jalan protocol) siap mencari lawannya, tetapi tak jarang
sasaran mereka justru pelajar sekolah yang tidak pernah ada masalah dengan
sekolahan mereka. Dengan berpura-pura menanyakan nama seseorang yang mereka
cari, dengan beraninya merampas atau meminta uang dengan paksa kepada pelajar
yang mereka temui. Dengan berbekal senjata tajam, gier, rantai, alat pemukul
mereka siap mencari sasaraan dan melakukan tindak kekerasan. Para pelajar ini
menurunkan kebiasan buruknya kepada adik-adik kelasnya, sementara mereka sudah
naik satu jenjang menjadi senior. Dengan berbekal pengalaman tawuran ini,
jadilah senior kelas yang memiliki bibit-bibit kekerasan. Salah satu tawuran
pelajar yang terjadi akhir-akhir ini yaitu perkelahian antara SMA 6 dan SMA 78
Jakarta (Koran Kompas).
Soekadji (1992, dalam Sarwono & Meinarno, 2009)
mengujarkan hasil penelitian bahwa perkelahian pelajar merupakan tawuran
pelajar yang terjadi karena para pelajar mewarisi budaya atau tradisi yang diwariskan
oleh kakak-kakak kelas mereka. Rambe (1997, Sarlito & Meinarno, 2009)
mengatakan bahwa perkelahian pelajar menjadi salah satu bentuk implementasi
solidaritas tinggi diantara teman sekolah. Solidaritas tinggi tersebut membuat
siswa merasa memiliki keharusan untuk melakukan konformitas dengan cara melakukan
hal yang sama seperti yang dilakukan temannya. Konformitas adalah suatu bentuk
pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai
dengan normal sosial yang ada (Baron, Byrne, dan Branscombe, 2008). Dalam hal
ini, konformitas yang dilakukan siswa adalah tawuran.
Pada
umumnya alasan melakukan konformitas karena orang tidak selalu membuat
keputusan yang terpisah, melainkan mereka melihat ke orang lain untuk
membimbing pikiran dan tindakan (Hornsey, Majkut, Terry, & McKimmie, 2003).
Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh tekanan yang datang dari sesama teman
sekolah. Ketika teman mengalami suatu permasalahan, siswa akan menginginkan dia
dianggap sebagai teman yang baik dan setia (pencitraan). Namun di satu sisi,
dia tidak ingin melakukan tawuran pelajar karena mengetahui dampak yang bisa
muncul akibat terlibat dalam tawuran pelajar. Pada kondisi yang autokinectic phenomenon ini, norma
sosial berkembang dalam kondisi yang ambigu (Sarwono & Meinarno, 2009).
Siswa mencoba memenuhi kebutuhannya untuk melakukan suatu hal yang bisa
dikatakan benar oleh lingkungan sosialnya. Namun, karena sedang berada dalam
kondisi yang ambigu, dia mencoba mencari kebenaran dengan memutuskan pilihan
untuk mengikuti apa yang diharapkan kelompok teman sekolahnya. Dalam hal ini,
yang dilakukan oleh teman-temannya adalah tawuran.
Ada bukti yang berkembang bahwa
ketika orang merasa suatu keharusan moral untuk berperilaku dengan cara
tertentu, ada hubungan kuat antara sikap dan perilaku mereka (Manstead, 2000,
dalam Hornsey, Majkut, Terry, & McKimmie, 2003). Bukti ini bisa menjelaskan
bagaimana disonasi kognitif yang terjadi pada siswa ketika harus memilih
mengikuti atau tidak tawuran pelajar yang dilakukan oleh teman-teman
sekolahnya. Walaupun siswa berusaha untuk tidak ikut terlibat dalam perilaku
tawuran, akan tetapi adanya dorongan dan tekanan dapat menyebabkan siswa
melakukan tawuran bersama teman-temannya.
Dalam percobaan Hornsey, Majkut,
Terry, & McKimmie (2003), ditemukan bahwa partisipan yang memiliki dasar
moral yang lemah untuk sikap, maka mereka sesuai dengan norma kelompok pada
perilaku pribadi. Sebaliknya, mereka yang memiliki dasar moral yang kuat bagi
sikap, mereka menunjukkan ketidaksesuaian pada perilaku pribadi dan
kontra-sesuai pada perilaku masyarakat. Insiden ketidaksesuaian dan
kontra-sesuai dibahas dengan mengacu pada teori dan penelitian tentang pengaruh
normatif. Hal ini menunjukan bahwa siswa yang memiliki dasar moral sikap yang
lemah, maka akan lebih mudah terpengaruh pada perilaku sosial yang dilakukan
teman-temannya. Alhasil, dia akan lebih mengikuti apa saja yang dilakukan
temannya. Namun, apabila dia memiliki dasar moral sikap yang kuat, maka dia
akan menyeleksi terlebih dahulu tingkah laku apa yang sesuai untuk dilakukan.
Tawuran
pelajar ini tidak sesuai normal sosial yang ada. Tawuran pelajar merupakan
tingkah laku yang tidak sesuai karena mengganggu kenyamanan, ketentraman, dan
kedamaian. Selain itu, tawuran pelajar juga menjadi aktivitas yang menggangu
proses belajar para siswa di sekolah. Dapat dikatakan bahwa tawuran pelajar
merugikan pihak pelajar sendiri dan masyarakat yang ada. Padahal yang dimaksud
sesuai dengan norma sosial adalah kesesuaian antara tingkah laku dan aturan-aturan
yang ada dalam lingkungan sosial (Sarwono & Meinarno, 2009). Hal ini tentu
tidak sesuai dengan norma sosial, terutama injunctive
norms dan descriptive norms.
Bentuk
ketidaksesuaian tawuran pelajar dengan injunctive
norms adalah tidak menjaga kenyamanan, keamanan dan kedamaian di lingkungan
masyarakat. Hal ini tertulis secara eksplisit dalam peraturan-peraturan yang
ada dalam masyarakat (Sarwono & Meinarno, 2009). Mengganggu kenyamanan,
keamanan, dan kedamaian dapat menimbulkan banyak protes dari berbagai pihak.
Hal ini tentu bisa menimbulkan permasalahan baru yang dapat meresahkan banyak
pihak. Maka dari itu, tawuran pelajar menjadi suatu hal yang harus dicegah
karena tidak sesuai dengan injunctive
norms yang ada.
Selain
tidak sesuai dengan injunctive norms, tawuran
pelajar juga tidak sesuai dengan descriptive
norms. Descriptive norms merupakan
norma sosial yang bersifat implisit dan tidak dinyatakan secara tertulis dan
tegas (Sarwono & Meinarno, 2009). Descriptive norms yang dimaksud adalah nilai kesopanan
dalam bertingkah laku dimasyarakat. Tawuran pelajar banyak melibatkan
perilaku-perilaku yang saling tidak menghargai dan toleransi. Padahal nilai
dalam masyarakat mengungkapkan bahwa harus saling menghargai dan toleransi.
Masih ada perdebatan tentang mengapa descriptive
norms dapat mempengaruhi sikap dan perilaku. Di satu sisi, siswa mungkin
tidak pasti apa yang harus pikirkan dan lakukan dalam suatu situasi. Dalam
keadaan ini, siswa mungkin bergantung pada orang lain untuk menentukan apa yang
benar, terutama jika kelompok referensi dipandang termotivasi dan kompeten.
Bentuk pengaruh disebut sebagai informational
influence bukan rational process. Hal
ini adalah cara fungsional mendefinisikan posisi dalam menghadapi informasi
yang terbatas (Hornsey, Majkut, Terry, & McKimmie, 2003),. Pengaruh informational influence ini diinternalisasi oleh siswa sehingga
menyebabkan perubahan pada tingkah laku.
Myre
(1998, dalam Sarlito & Meinarno, 2009) mengatakan bahwa faktor penyebab
tingkah laku konformitas pada pelajar pelaku tawuran pelajar ada dua hal, yaitu
acceptance dan compliance. Faktor acceptance
terjadi karena konformitas kelompok menyediakan informasi yang tidak dimiliki
pelajar, sehingga pelajar memiliki keyakinan dan bertingkah laku sesuai dengan
tekanan teman-temannya. Namun, pada compliance, pelajar mencoba
bertingkahlaku seperti tekanan kelompok namun sebenarnya secara pribadi dia
tidak menyetujui tingkah laku tersebut.
Konformitas pada hubungan sosial
dengan teman-teman harus dapat dikendalikan dengan baik oleh masing-masing
individu. Pengaruh konformitas yang tinggi turut meningkatkan perilaku tawuran
pelajar. Hal ini menunjukan bahwa konformitas tidak selamanya memberikan hal
positif pada hubungan pertemanan, melainkan juga hal negatif. Oleh karena itu,
pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat sebaiknya bekerjasama untuk memperhatikan,
mensosialisasikan, dan menanamkan nilai dan norma sosial yang sebenarnya pada
para pelajar agar mereka tidak melakukan tawuran pelajar.
Daftar Pustaka
Baron,
R. A., Byrne, D., & Branscombe, N. R. (2008). Social Psychology. Edisi 12.
Boston:
Pearson.
Brown, B. B., Clasen,
D. R., & Eicher, S. A. (1986). Perceptions of peer pressure, peer
conformity
dispositions, and self-reported behavior among adolescents.
Gerard, H. B.,
Wilhelmy, R. A., & Connoley, E. S. (2006). Conformity and group size.
Journal of Personality and Social
Psychology. 8(1), 79-82. Abstrak diunduh dari
Hornsey, M. J., Majkut,
L., Terry, D. J., & McKimmie, B. M. (2003). On being loud and
proud:
Non-conformity and counter-conformity to group norms. The British Journal
of Social Psychology, 42,
319-35. Diunduh dari http://search.proquest.com/docview/219172185?accountid=17242
Kistyarini. (2012).
Tawuran pelajar di pancoran, 3 siswa diamankan. Diunduh dari
ran.Tiga.Siswa.Diamankan
Sarwono, S. W.,
Meinarno, E. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika
Siregar, M. B. (2003). Penanggulangan masalah tawuran pelajar
sebagai tingkah laku
Penanggulangan%20masalah-TOC.pdf
No comments:
Post a Comment