Feb 10, 2014

Belajar di Cemara Kulon #1

Fajar menyingsing. Hari itu 9 Januari 2014 pukul 02.30 WIB, semua pengajar dan panitia terpilih Gerakan UI Mengajar 3 berangkat menuju Indramayu. Ya, kami akan memulai aksi sosial dan mengajar kami di enam titik aksi. Aku sendiri mendapatkan kesempatan menjadi pengajar kelas 4 SDN Cemara Kulon, Titik 5 #cemcool Gerakan UI Mengajar 3.

Desa Cemara Kulon merupakan daratan yang berada ditengah sungai dan laut. Sekeliling Cemara Kulon merupakan perairan payau yang banyak dijadikan tambak oleh warga disana. Jika ketinggian air sungai, laut, dan tambak sedang naik, Cemara Kulon sering diberikan julukan sebagai Pulau Cemara Kulon. Ya, memang  dikala itu terlihat layaknya pulau karena tampak daratan yang berada di tengah-tengah perairan.

Titik 5 merupakan daerah yang paling jauh perjalanannya dari jalan raya utama. Dalam salah satu perjalanan, kami harus melewati jembatan bambu yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua. Jembatan tersebut untungnya bukan jembatan pelangi. Kata teman-teman yang sudah pernah survey kesana, jembatan pelangi sungguh melengkung dan rawan terpleset. Membahayakan gitu katanya. Nah, jembatan bledung yang dilalui malam itu bagiku tidak terlalu mengerikan sih. Hanya saja mengkhawatirkan karena tidak ada kayu pegangan tangannya Hahah. Dibawah gerimisnya air hujan, kelicinan jembatan sungguh makin terasa. Ditambah suara arus air sungai yang terdengar bergemuruh, rasanya jalan jongkok menjadi cukup lumrah. Hehhe bercanda

Apabila hujan lebat mengguyur, ketinggian sungai dibawah jembatan biasanya akan naik hingga sama rata atau malah menenggelamkan jembatan bledung tersebut. Nah, kalo udah begitu, kita hanya bisa menggunakan perahu untuk melalui jembatan agar mencapai Desa Cemara Kulon.

Jangan kira selesai melewati jembatan maka akan segera tiba di desa. Belum. Dari jembatan butuh waktu lebih dari 15 menit menggunakan sepeda motor untuk mencapai desa atau lebih dari 30 menit ditempuh perjalanan kaki. Malam itu ditengah gerimis air yang berjatuhan, kami menyewa gerandong. Aku kira gerandong semacam makhluk jadi-jadian seperti di televisi. Ternyata tidak, gerandong adalah motor dengan bak terbuka dibelakangnya. Sungguh pengalaman pertama yang tak terlupakan bersama gerandong. Berasa layaknya ikan-ikan yang disusun rapi dalam bak sayur. Iya, bak tersebut emang bak motor yang sering digunakan untuk mengantar sayur-sayuran atau hasil tambak. Eh iya, kemulusan jalanan berasa banget bro di atas gerandong! 

Sempat merasa khawatir, belum tiba di lokasi aksi akan tetapi hujan terus menemani sepanjang perjalanan. Apa yang dikhawatirkan? Entahlah. Sesuatu yang belum ada tapi seperti tampak akan ada. Namun mendadak pikiran dan lamunanku itu buyar. Semua kekhawatiran itu menghilang karena senyum dan tawa dari teman-teman satu titik aksiku. Mereka adalah Uma, Ojan, Fathia, Anis, Icah, Ayu, Nadia, Sovia, Ajeng, Ryan, Novya, Teguh, Dika, dan Sarah. Senyum mereka mampu menghapus kekhawatiranku. Terima kasih geng :") Oh ya kami menyebut diri kami Power Rangers. Entah dari mana mulai tercetus nama itu, tapi kami suka nama itu.

...................................


Senyum dan semangat selalu menemani hari-hariku di Cemara Kulon. Sejak bangun tidur pagi hingga kembali tidur malam, aku selalu memikirkan dan mengkoreksi setiap langkahan yang aku lakukan di desa ini. Entahlah, mengapa aku tak terlalu mengkhawatirkan metode mengajarku. Rasanya semua sudah ku persiapkan semaksimal mungkin. Yang paling aku khawatirkan adalah nilai atau hikmah yang didapatkan anak-anak saat berhadapan denganku. 

Hari itu, 17 Januari 2014 halaman utama sekolah mulai digenangi air banjir. Air mulai mencapai setinggi mata kakiku. Namun, alhamdulillah itu hanya di beberapa sudut sekolah saja sehingga tidak menghambat KBM yang berlangsung.  Di dalam kelas pun tidak digenangi air sedikitpun. Memang setiap pagi cuaca selalu hujan. Makanya aku tak heran melihat sebagian anak-anak yang datang ke kelas dengan seragam basah atau sepatu kotor. Yang terpenting, semangat dan senyum mereka untuk belajar tetap terjaga :")

Keesokan harinya, 18 Januari 2014 genangan air di halaman utama sekolah mulai naik lebih dari setinggi mata kakiku. Ruang kelas 3, 4, dan 6 mulai sedikit demi sedikit dimasukin oleh genangan air banjir. Anak-anak kelas 4 juga hampir semuanya mengenakan sandal ke sekolah. Saat mengajar, pintu kelas 4 harus ditutup agar genangan air banjir cukup terhambat masuk dalam ruang kelas. Alhamdulillah anak-anak tetap bisa konsentrasi memperhatikan apa yang aku sampaikan. Untungnya di hari itu aku dan beberapa guru yang mengalami kondisi kelas yang sama diberikan pinjaman ruang kelas SMP untuk melanjutkan proses pembelajaran. Aaaa syukur terima kasih ya pihak SMP.

19 Januari 2014. Seperti hari-hari sebelumnya, aku bangun bertepatan dengan adzan shubuh. Anehnya  hari itu aku merasa sedang bermimpi atap kamar tidurku bocor dan membasahi kasurku.

"Ah, sudahlah itu hanya bunga tidur di sela-sela alunan denting hujan diluar " pikirku.

Baru saja terbangun dan menginjakkan kaki dilantai, aku langsung menahan mulutku yang ingin berteriak. KAGET!  Lantai kamar mulai digenangi air. Dan, ku lihat ternyata kasurku memang sudah basah karena atap yang bocor. Semua buku bacaan anak-anak dan berbagai perlengkapan mengajar di lantai langsung aku pindahkan ke atas kasur sembari dimasukan dalam berbagai goodie bag atau plastik. Ah, ternyata itu bukan mimpi. Aku masih tidak percaya sedang berada dalam kondisi kebanjiran.

Lalu terdengar teriakan orang tua asuh dan tetangga-tetangga meneriakan "Banjirrrrr... banjirrrrr".

Segera aku keluar kamar. Aku pun langsung secepat kilat membantu orang tua asuhku menaikan berbagai barang yang perlu dijauhkan dari jangkauan air banjir. Ditengah suasana pikiran yang bingung, apapun benda yang kulihat "Tidak Boleh Basah" langsung kupindahkan ke atas lemari.

Hingga pukul 06.00 WIB hujan masih mengguyur sehingga ketinggian air banjir di dalam rumah semakin bertambah hingga mencapai mata kakiku. Tapi, entahlah. Dalam kondisi tersebut seketika aku langsung berusaha tersenyum dan mengambil kamera sakuku. Aku berusaha menanggapi secara positif kondisiku saat itu. Tak lupa aku mengabari teman-teman setitikku mengenai kondisi rumahku.

Usai berbenah barang-barang, aku mengajak adik asuhku untuk berjalan-jalan sekitar rumah. Aku ingin mengetahui keadaan rumah-rumah penduduk dan jalan utama pagi ini.

Rumah tepat di sebelah kanan rumah tinggalku, bagian kamar belakang hingga dapurnya ambruk. Atap genteng dan dinding jebol karena hujan badai semalam. Sungguh tampak sangat miris melihat lantai rumah yang ketinggian banjirnya dua kali lebih tinggi dari rumahku. Ya, rumah tersebut memang masih menggunakan lantai tanah dan posisi ketinggiannya lebih rendah dari rumahku. Terlihat ada nenek tua yang masih tertidur dalam kelambunya. Ehm, iya bener kok itu pemilik rumah yang tengah tidur, bukan ................

Aku menyusuri jalanan setapak di depan rumahku. Nah loh, air sudah mulai mencapai lutut orang dewasa. Pada salah satu ruas jalan malah sudah lebih dari selututku. Aku buru-buru mengabadikan momen ini menggunakan kamera saku. Entahlah. Aku berusaha mengubah suasana kekhawatiranku dengan aktivitas memotret yang entah apakah ini akan membawa kebahagian atau kebingungan tersendiri bagiku.

Bersambung..

1 comment:

TasimBae said...

Terimakasih sudah mau berbagi ilmu untuk anak-anak Desa Cemara Kulon. Salut buat mbak dan teman-teman GUIM lainnya.
Semoga Tidak kapok mbak hehe....!!

Diam atau Bergerak

Waktu terus berlalu tapi engkau masih disana Hari terus berlalu tapi engkau masih di singgasana Lepaskan singgasana karena engkau perlu ta...